Minggu ini serasa menjadi minggu paling menyesakkan dada. Tatkala orang-orang sedang susah payah mempersiapkan ujian (smesteran) justeru saya mengalami sebaliknya; susah payah tidak dapat mengikuti ujian. Semua itu baru saya ketahui setelah masuk ruang ujian lisan, senin (13/6), pra ujian tulis. Dari keterangan penguji, nama saya tidak diketemukan dalam daftar, sehingga beliau menganjurkan saya untuk segera menemui bagian administrasi (syu’un thullab) untuk meminta formulir. Tanpa pikir panjang saya pun bergegas pergi ke ruangan lantai paling dasar Fakultas Hukum Islam dan Perundang-undangan untuk meminta formulir atas nama saya.
Seketika itu saya tercengang mendengar keterangan bagian administrasi tingkat III, Ustadz Ramadlan. Ia memberitahukan bahwa saya tidak ada dalam daftar ujian saat itu. “Istimarah eih? Enta mafisy imtahanat dil waqti (Formulir apa? Kamu sekarang tidak ada ujian)” katanya. Sepontan saya pun minta kejelasan tentang ketarangan yang barusan saya dengar, “Ma’lisy, ya’ni eih? (Maaf, maksudnya bagaimana?)”.
“Syuf, andak takhallufain bass..! (Lihat, kamu hanya punya 2 mata kuiah tertinggal..!)” jawabnya sembari menunjukkan buku administrasi kepadaku. Mampus..! Keduanya udah selesai kemarin-kemarin, pikirku. Bagaimana mungkin jadwal ujian sampai tidak saya ketahui, sedangkan ujian merupakan persoalan paling paranoid di Mesir ini?
Sekilas, kesalahan ini tampak murni kesalahanku. Namun, jika ditinjau dari kronologisnya barangkali anggapan itu sedikit terkesampingkan. Sebenarnya, semua itu berawal dari pengumuman kenaikan tingkat dari pihak kampus sebelum ujian. Karena tidak yakin terhadap pengumuman hasil ujian, saya pun berusaha klarifikasi ke pihak bag. administrasi (su’un tullab). Dari sana saya tau, ternyata ada 3 dokumen penting berkaitan dengan kenaikan tingkat yang masing-masing saling berbeda tentang hasil ujian saya. Bagaimana ini bisa terjadi? Ya, hal ini sering terjadi di Universitas Al-Azhar.
Setelah melalui perdebatan kecil, saya pun mendapatkan jawaban, dokumen mana yang dijadikan acuan kebenaran dari tiga dukumen yang saling berbeda itu. Singkat cerita, diberilah aku secarik kertas berisi tulisan tentang semua mata kuliah yang harus saya ikuti. Kemudian, dari kertas inilah mala petaka itu datang, saya tidak dapat mengikuti ujian karena tulisan yang ada tidak secara terperinci; mana mata kuliah lama dan mana mata kuliah baru. Akhirnya, waktu ujian lisan itu aku baru tau kesalahanku bahwa dua mata kuliah telah lewat beberapa hari yang lalu. Aku tertinggal. Jika tahun ini tidak bisa mempertahankan semua mata kuliah selain dua mata kuliah yang tertinggal itu, maka konsekwensinya aku harus mengulang 1 tahun lagi. Sallimna ya Rabb.
Serba malas. Mau ngotot sama bagian administrasi untuk melakukan negosiasi pun malas. Ujian yang seharusnya saya pertahankan juga telah berlalu. Apalagi samua di sini tau hampir tidak ada yang bisa mengimbangi gaya bicara orang Mesir kecuali orang Sudan. Ya, jika keduanya sedang terjebak dalam perdebatan pasti seperti orang mau perang. Tidak seperti orang Indonesia, komunikatif dan kompromis.
Seketika itu saya tercengang mendengar keterangan bagian administrasi tingkat III, Ustadz Ramadlan. Ia memberitahukan bahwa saya tidak ada dalam daftar ujian saat itu. “Istimarah eih? Enta mafisy imtahanat dil waqti (Formulir apa? Kamu sekarang tidak ada ujian)” katanya. Sepontan saya pun minta kejelasan tentang ketarangan yang barusan saya dengar, “Ma’lisy, ya’ni eih? (Maaf, maksudnya bagaimana?)”.
“Syuf, andak takhallufain bass..! (Lihat, kamu hanya punya 2 mata kuiah tertinggal..!)” jawabnya sembari menunjukkan buku administrasi kepadaku. Mampus..! Keduanya udah selesai kemarin-kemarin, pikirku. Bagaimana mungkin jadwal ujian sampai tidak saya ketahui, sedangkan ujian merupakan persoalan paling paranoid di Mesir ini?
Sekilas, kesalahan ini tampak murni kesalahanku. Namun, jika ditinjau dari kronologisnya barangkali anggapan itu sedikit terkesampingkan. Sebenarnya, semua itu berawal dari pengumuman kenaikan tingkat dari pihak kampus sebelum ujian. Karena tidak yakin terhadap pengumuman hasil ujian, saya pun berusaha klarifikasi ke pihak bag. administrasi (su’un tullab). Dari sana saya tau, ternyata ada 3 dokumen penting berkaitan dengan kenaikan tingkat yang masing-masing saling berbeda tentang hasil ujian saya. Bagaimana ini bisa terjadi? Ya, hal ini sering terjadi di Universitas Al-Azhar.
Setelah melalui perdebatan kecil, saya pun mendapatkan jawaban, dokumen mana yang dijadikan acuan kebenaran dari tiga dukumen yang saling berbeda itu. Singkat cerita, diberilah aku secarik kertas berisi tulisan tentang semua mata kuliah yang harus saya ikuti. Kemudian, dari kertas inilah mala petaka itu datang, saya tidak dapat mengikuti ujian karena tulisan yang ada tidak secara terperinci; mana mata kuliah lama dan mana mata kuliah baru. Akhirnya, waktu ujian lisan itu aku baru tau kesalahanku bahwa dua mata kuliah telah lewat beberapa hari yang lalu. Aku tertinggal. Jika tahun ini tidak bisa mempertahankan semua mata kuliah selain dua mata kuliah yang tertinggal itu, maka konsekwensinya aku harus mengulang 1 tahun lagi. Sallimna ya Rabb.
Serba malas. Mau ngotot sama bagian administrasi untuk melakukan negosiasi pun malas. Ujian yang seharusnya saya pertahankan juga telah berlalu. Apalagi samua di sini tau hampir tidak ada yang bisa mengimbangi gaya bicara orang Mesir kecuali orang Sudan. Ya, jika keduanya sedang terjebak dalam perdebatan pasti seperti orang mau perang. Tidak seperti orang Indonesia, komunikatif dan kompromis.
0 komentar
Post a Comment