Kasus-kasus TKI di Arab Saudi jelas bukan berita baru. Pecayalah, dari sekian kasus yang menghiasi berbagai media di Indonesia hanya sebagian kecil dari fakta sebenarnya. Banyak sekali kasus-kasus serupa yang tidak pernah tersentuh media. Dan itu saya saksikan dan dengar sendiri dari orang-orang yang besangkutan.
Tahun 2008 bulan Ramadlan saya pernah ke Saudi Arabia. Kurang lebih 3 bulan berada di sana. Rute perjalanan Mesir-Jordan-Madinah, ditempuh 2 hari melalui jalur darat. Hal paling menakjubkan untuk pertama kali sesampainya di kota Madinah adalah kondisi kotanya yang sedemikian bersih, megah dan penampilan orang-orangnya yang tampak elegan. “Pantas jika dijuluki Kota Suci”, pikirku.
Hari kedua image orang-orang Saudi rusak di mataku. Awalnya, hari itu aku beserta teman-teman (mahasiswa Mesir) melakukan shalat Maghrib berjamaah di Masjid al-Haram. Selepas menjalankan shalat, aku melihat dari kejauhan dua temanku sedang berbicara dengan seorang perempuan kisaran usia 18 an di halaman luar masjid. Saat hendak pulang menuju apartemen mereka memanggilku untuk menceritakan apa yang sedang terjadi. Dari pengakuan perempuan itu saya tau bahwa dia adalah seorang TKW. Saat itu ia sedang kabur dari majikan, diantarkan supir taxi. Padahal, dia sendiri sama sekali belum tau di mana letak Masjid al-Haram.
“Aku baru 2 bulan di sini. Sejak bekerja, HP ku disita majikan, tidak bisa bicara dengan keluarga di Indonesia.” kata wanita itu sambil tak henti-hentinya ia menangis dengan tas plastik hitam berukuran sedang di tangannya.
“Dari mana aslinya?” tanyaku.
“Dari Cianjur. Aku melarikan diri, udah di sini dari tadi. Aku nggak tahan kerja di sana. Aku nggak tau harus minta tolong siapa.”
“Ada masalah apa?”
Kali ini dia tak bergegas menjawab pertanyaanku. Justeru isak tangisannya semakin mengeras dan sulit dikendalikan meskipun ia berkali-kali berusaha. Aku lihat dia sedang dalam kebingungan dan panik dengan kondisinya saat itu. Aku berusaha mengendalikan situasi saat itu agar dia sedikit rilek.
“Tenang, tenang, sekarang ada kita di sini untuk membantumu. Jadi tenang. Tolong ceritakan semua biar kita bisa mengetahui permasalahanmu sesungguhnya”
“Aku nggak betah di sana. Tiap hari aku mau diperkosa anaknya majikan.”
Kepalaku seakan tersambar petir mendengar jawaban ini. Aku emosi meskipun tetap tertahan. Memang persoalan pemerkosaan dan penyiksaan di Arab Saudi tidak asing di Indonesia. Tapi itu di televisi dan di beberapa media cetak. Kalau sekarang korbannya persis berada di hadapanku.
Aku berikan bungkusan plastik berisi roti dan minuman yang banyak dibagikan di Masjid al-Haram saat berbuka puasa. Ia lapar, sedari pagi belum makan katanya. Bungkusan ditangan teman juga saya kasihkan untuk meyakinkan jatah makannya tak kurang untuk sementara. Seketika itu aku muak dengan orang Saudi, “kurang ajar..!! Berani-beraninya merusak orang Indonesia” pikirku. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari kantor KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) untuk memecahkan persoalan ini. Tapi kami bingung, belum tau lokasinya, karena kami baru 2 hari berada di sana. Akhirnya, sesuai keterangan, kami tau Madinah tidak ada KBRI. Adanya KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia), itupun di kota Jeddah tempatnya. Tidak mungkin kami membawanya ke Jeddah karena semua dokumen di tangan majikan. Namun, beberapa saat setelah itu kami mendapatkan titik cerah tentang adanya informasi basecamp para pejabat KJRI di sebuah hotel di Madinah dan kebetulan tidak jauh dari lokasi Masjid al-Haram. (bersambung di sini)
Tahun 2008 bulan Ramadlan saya pernah ke Saudi Arabia. Kurang lebih 3 bulan berada di sana. Rute perjalanan Mesir-Jordan-Madinah, ditempuh 2 hari melalui jalur darat. Hal paling menakjubkan untuk pertama kali sesampainya di kota Madinah adalah kondisi kotanya yang sedemikian bersih, megah dan penampilan orang-orangnya yang tampak elegan. “Pantas jika dijuluki Kota Suci”, pikirku.
Hari kedua image orang-orang Saudi rusak di mataku. Awalnya, hari itu aku beserta teman-teman (mahasiswa Mesir) melakukan shalat Maghrib berjamaah di Masjid al-Haram. Selepas menjalankan shalat, aku melihat dari kejauhan dua temanku sedang berbicara dengan seorang perempuan kisaran usia 18 an di halaman luar masjid. Saat hendak pulang menuju apartemen mereka memanggilku untuk menceritakan apa yang sedang terjadi. Dari pengakuan perempuan itu saya tau bahwa dia adalah seorang TKW. Saat itu ia sedang kabur dari majikan, diantarkan supir taxi. Padahal, dia sendiri sama sekali belum tau di mana letak Masjid al-Haram.
“Aku baru 2 bulan di sini. Sejak bekerja, HP ku disita majikan, tidak bisa bicara dengan keluarga di Indonesia.” kata wanita itu sambil tak henti-hentinya ia menangis dengan tas plastik hitam berukuran sedang di tangannya.
“Dari mana aslinya?” tanyaku.
“Dari Cianjur. Aku melarikan diri, udah di sini dari tadi. Aku nggak tahan kerja di sana. Aku nggak tau harus minta tolong siapa.”
“Ada masalah apa?”
Kali ini dia tak bergegas menjawab pertanyaanku. Justeru isak tangisannya semakin mengeras dan sulit dikendalikan meskipun ia berkali-kali berusaha. Aku lihat dia sedang dalam kebingungan dan panik dengan kondisinya saat itu. Aku berusaha mengendalikan situasi saat itu agar dia sedikit rilek.
“Tenang, tenang, sekarang ada kita di sini untuk membantumu. Jadi tenang. Tolong ceritakan semua biar kita bisa mengetahui permasalahanmu sesungguhnya”
“Aku nggak betah di sana. Tiap hari aku mau diperkosa anaknya majikan.”
Kepalaku seakan tersambar petir mendengar jawaban ini. Aku emosi meskipun tetap tertahan. Memang persoalan pemerkosaan dan penyiksaan di Arab Saudi tidak asing di Indonesia. Tapi itu di televisi dan di beberapa media cetak. Kalau sekarang korbannya persis berada di hadapanku.
Aku berikan bungkusan plastik berisi roti dan minuman yang banyak dibagikan di Masjid al-Haram saat berbuka puasa. Ia lapar, sedari pagi belum makan katanya. Bungkusan ditangan teman juga saya kasihkan untuk meyakinkan jatah makannya tak kurang untuk sementara. Seketika itu aku muak dengan orang Saudi, “kurang ajar..!! Berani-beraninya merusak orang Indonesia” pikirku. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari kantor KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) untuk memecahkan persoalan ini. Tapi kami bingung, belum tau lokasinya, karena kami baru 2 hari berada di sana. Akhirnya, sesuai keterangan, kami tau Madinah tidak ada KBRI. Adanya KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia), itupun di kota Jeddah tempatnya. Tidak mungkin kami membawanya ke Jeddah karena semua dokumen di tangan majikan. Namun, beberapa saat setelah itu kami mendapatkan titik cerah tentang adanya informasi basecamp para pejabat KJRI di sebuah hotel di Madinah dan kebetulan tidak jauh dari lokasi Masjid al-Haram. (bersambung di sini)
0 komentar
Post a Comment