(Cerita sebelumnya dapat dibaca di sini) Di sana kita bertemu dengan dua staff KJRI Jeddah sedang bercengkrama di ruang depan. Saya mewakili teman-teman berusaha menjelaskan tujuan kami ke sana. Belum lama mereka mendengarkan penjelasan itu, salah satu dari mereka melemparkan pertanyaan yang sama sekali tidak bisa kami pahami dalam konteks kedatangan kami.
“Kalian mahasiswa, ya?”
“Ya. Tapi bukan mahasiswa sini.” Jawab saya.
“Ya udah, duduk dulu.” pintanya.
Setelah mendapatkan jawaban, mereka pun mengabaikan kami. Relative lama mereka bercengkrama sambil sesekali tertawa. Dilihat dari topik pembicaraannya rasa-rasanya tidak begitu penting. Raut wajah mereka tampak begitu jelas sedikitpun tidak ada ekspresi kesedihan mengetahui tragedi yang dialami wanita ini. Saya berfikir, apa hubungannya mempertanyakan status kami dengan kasus ini? Kenapa justeru mereka terlihat begitu santainya mendengar penjelasan ini? Kenapa mereka tidak apresiatif dan responsif di tengah kepanikan kami? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain berjubal di kepala di saat itu.
“Pak, bagaimana dengan kasus ini?” tanyaku menyela, setelah merasa tak sabar menunggu begitu lama tanpa adanya kejelasan dari mereka.
“Iya, nanti dulu.” jawabnya singkat.
Heran. Masalah yang menurut saya sedemikian besarnya hanya ditanggapi begitu datar. Setelah dua kali minta kejelasan akhirnya saya mendapatkan jawaban tentang penanganan kasus itu.
“Masalah ini udah ada bagiannya sendiri. Jadi sabar dulu, saya akan panggil orangnya, sekarang lagi di lantai atas.”.
Selang beberapa saat, terlihat sosok berambut sedikit memutih keluar dari lift. Setelah mendengar sedikit penjelasan dia pun melakukan investigasi ke yang bersangkutan secara langsung.
“Udah diperkosa atau belum?”.
Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, pertanyaan itu pun diulang berkali-kali. Tampaknya wanita itu merasa risih dan malu. Bagaimana tidak, pertanyaan itu dilempar ditengah-tengah banyak orang dan semua mampu mendengarnya.
“Jawab aja, biar semua jelas, sebenarnya udah diperkosa atau belum?”
“Udah.” jawabnya lirih dengan kepala tertunduk.
Untuk kedua kalinya kepala serasa tersambar petir. Pengakuan dia dari awal terhadap kami hanya sebatas mengalami percobaan pemerkosaan bukan perkosaan. Perasaan marah terhadap orang Saudi semakin menjadi-jadi kala itu, ditambah rasa kecewa pelayanan staff KJRI. Pejabat macam apa ini? Kemana hati nurani mereka? Bagaimana jika kasus itu menimpa saudara atau adik kandung mereka sendiri? Apakah TKW bukan manusia sehingga layak diperlakukan seenaknya? Apakah mereka tidak sadar bahwa sebagian gaji mereka juga diambil dari harta orang-orang semacam ini?
“Jangan sampai mau dikembalikan ke majikan yang sama..!!” pesan terakhirku ke wanita itu sebelum kami hengkang dari situ. Bagiku, kembali ke majikan sama saja masuk ke kandang singa, dan tentunya perkosaan akan selalu terulang lagi. Memang, dari beberapa teman mukimin menyayangkan keputusan kami membawa wanita itu ke KJRI. Alasan mereka, KJRI tidak akan pernah membela TKW dan kemungkinan besar wanita itu akan dikembalikan ke majikan yang sama. Oleh karenaya, banyak sekali TKW-TKW kabur justeru enggan berspikulasi nasib ke KJRI. Jika memang benar, tidak pantas lagi mereka disebut sebagai pejabat negara, tapi “penjahat negara”.
“Kalian mahasiswa, ya?”
“Ya. Tapi bukan mahasiswa sini.” Jawab saya.
“Ya udah, duduk dulu.” pintanya.
Setelah mendapatkan jawaban, mereka pun mengabaikan kami. Relative lama mereka bercengkrama sambil sesekali tertawa. Dilihat dari topik pembicaraannya rasa-rasanya tidak begitu penting. Raut wajah mereka tampak begitu jelas sedikitpun tidak ada ekspresi kesedihan mengetahui tragedi yang dialami wanita ini. Saya berfikir, apa hubungannya mempertanyakan status kami dengan kasus ini? Kenapa justeru mereka terlihat begitu santainya mendengar penjelasan ini? Kenapa mereka tidak apresiatif dan responsif di tengah kepanikan kami? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain berjubal di kepala di saat itu.
“Pak, bagaimana dengan kasus ini?” tanyaku menyela, setelah merasa tak sabar menunggu begitu lama tanpa adanya kejelasan dari mereka.
“Iya, nanti dulu.” jawabnya singkat.
Heran. Masalah yang menurut saya sedemikian besarnya hanya ditanggapi begitu datar. Setelah dua kali minta kejelasan akhirnya saya mendapatkan jawaban tentang penanganan kasus itu.
“Masalah ini udah ada bagiannya sendiri. Jadi sabar dulu, saya akan panggil orangnya, sekarang lagi di lantai atas.”.
Selang beberapa saat, terlihat sosok berambut sedikit memutih keluar dari lift. Setelah mendengar sedikit penjelasan dia pun melakukan investigasi ke yang bersangkutan secara langsung.
“Udah diperkosa atau belum?”.
Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, pertanyaan itu pun diulang berkali-kali. Tampaknya wanita itu merasa risih dan malu. Bagaimana tidak, pertanyaan itu dilempar ditengah-tengah banyak orang dan semua mampu mendengarnya.
“Jawab aja, biar semua jelas, sebenarnya udah diperkosa atau belum?”
“Udah.” jawabnya lirih dengan kepala tertunduk.
Untuk kedua kalinya kepala serasa tersambar petir. Pengakuan dia dari awal terhadap kami hanya sebatas mengalami percobaan pemerkosaan bukan perkosaan. Perasaan marah terhadap orang Saudi semakin menjadi-jadi kala itu, ditambah rasa kecewa pelayanan staff KJRI. Pejabat macam apa ini? Kemana hati nurani mereka? Bagaimana jika kasus itu menimpa saudara atau adik kandung mereka sendiri? Apakah TKW bukan manusia sehingga layak diperlakukan seenaknya? Apakah mereka tidak sadar bahwa sebagian gaji mereka juga diambil dari harta orang-orang semacam ini?
“Jangan sampai mau dikembalikan ke majikan yang sama..!!” pesan terakhirku ke wanita itu sebelum kami hengkang dari situ. Bagiku, kembali ke majikan sama saja masuk ke kandang singa, dan tentunya perkosaan akan selalu terulang lagi. Memang, dari beberapa teman mukimin menyayangkan keputusan kami membawa wanita itu ke KJRI. Alasan mereka, KJRI tidak akan pernah membela TKW dan kemungkinan besar wanita itu akan dikembalikan ke majikan yang sama. Oleh karenaya, banyak sekali TKW-TKW kabur justeru enggan berspikulasi nasib ke KJRI. Jika memang benar, tidak pantas lagi mereka disebut sebagai pejabat negara, tapi “penjahat negara”.
0 komentar
Post a Comment