Budaya Ramadan di Arab Saudi

Budaya (dalam bahasa Indonesia), culture (dalam bahasa Inggris) dan tsaqafah (dalam bahasa arab) adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki secara kolektif oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut J.J. Hoenigman, realita budaya dibedakan menjadi tiga bagian: gagasan, aktivitas dan artefak, sedangkan kali ini saya hendak membicarakan realita budaya dari aspek aktivitasnya.

Sebagaimana negara-negara lain, Arab Saudi juga mempunyai banyak tradisi sebagai bentuk identitas mereka. Momen Ramadan di sana merupakan satu bidikan bagus untuk diperbincangkan. Pasalnya, di sana ada kebiasaan-kebiasaan tertentu, di mana kebiasaan ini  tidak banyak diketemukan di negara lain, semisal NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dalam cerita yang lalu, saya sempat mengutarakan kekaguman saya akan kota Madinah sesaat setelah sampai di sana. Madinah adalah salah satu kota suci di antara tiga kota suci lainnya yang tampak begitu bersih, megah dan elegan. Sempat terbesit, apakah kebersihan kota Madinah hanya terjadi di saat-saat Ramadan saja atau memang budaya bersih telah menjadi gaya hidup penduduk setempat. Padahal, bulan Ramadan di sana jelas perpotensi menimbulkan sampah dalam jumlah yang sangat besar dengan adanya maidat al-rahman (persediaan makanan di berbagai tempat bagi orang berpuasa), praktis sampah bekas makanan seharusnya berserakan di mana-mana.

Bagi umat Islam bulan Ramadan diyakini berbeda daripada bulan-bulan lainnya. Sinyalemen kemuliaan dan janji lipat ganda pahala pada bulan ini terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadis. Barangkali, itulah yang betul-betul dihayati oleh orang-orang Arab Saudi. Jika diperkenankan, saya akan katakan tidak ada orang kelaparan di sana selama bulan Ramadlan, entah itu penduduk asli maupun warga negara lain yang sedang berkunjung di sana. Makanan, minuman dan buah-buahan dari berbagai jenis sangat mudah didapatkan secara gratis menjelang buka puasa. Realita budaya semacam ini dapat disaksikan bukan hanya di Madinah, tapi juga di kota-kota lainnya.

Jika di Indonesia banyak didapati manusia lapar sedang butuh makanan, justru di sana ditemukan begitu banyak orang menyediakan makanan tengah membutuhkan orang untuk mengkonsumsinya. Tak ayal, para penyedia makanan itu berebut pejalan kaki sebagai target “paksaan”, dengan menarik-narik tangannya, guna menyantap suguhan makanan yang telah disediakan. Biasanya, masing-masing penyedia makanan mempunyai area atau kapling untuk kapasitas puluhan atau bahkan ratusan orang. Antar kapling satu dan yang lainnya saling berhimpitan. Tentunya, tatkala ditarik-tarik, kami akan melihat jenis makanan apa yang ia sediakan. “Layak konsumsi” atau tidak buat kami orang Indonesia. Sebab, dari sekian banyak makanan terdapat begitu banyak jenis; dari level istimewa sampai yang standard, dari yang sesuai perut orang Indonesia (seperti nasi) sampai yang tidak (seperti gandum dan makanan pokok negara lain). Demikian juga minuman.

Di bulan Ramadan penghargaan mereka terhadap para pelajar dan mahasiswa juga meningkat. Di sepuluh akhir bulan Ramadan (asyr al-awakhir), sebagai contoh, banyak sekali ditemukan lembaga maupun badan usaha membagikan uang secara cuma-cuma, cukup menunjukkan kartu pelajar/mahasiswa. Dari sekian banyak dermawan itu ada juga yang hanya memeberikan syarat menunjukkan passport, untuk memastikan orang yang hendak dibantu itu tidak tinggal di Arab Saudi secara illegal. Pada dasarnya, budaya semacam ini bukan hanya terjadi di bulan Ramadan. Hanya saja, pada bulan  jumlah mereka jauh lebih tinggi dibanding biasanya. Tampaknya itu sebagai bentuk pengharapan dan doa agar mendapatkan pahala berlipat-lipat di detik-detik munculnya lailalul qadar.

Secara jujur saya katakan, budaya mereka lebih dapat menghargai pendidikan dan lebih peka terhadap sosial di banding orang Indonesia. Semangat budaya seperti inilah yang harus  diadopsi. Saya pikir Indonesia teramat jauh dalam dua urusan ini. Sering saya mendengar teman-teman mempunyai statmen, “Ah, enak di sini daripada di Indonesia. Di sini kita tinggal belajar tanpa harus memikirkan finansial untuk sekedar makan dan biaya pendidikan”. Begitulah kira-kira.

Rasanya, anggapan itu tidak salah.  Saya sendiri merasakan apa yang dirasakan teman-teman. Coba lihat, berapa biaya pendidikan di Indonesia? Untuk menjadi orang pintar dan berpendidikan saja seakan-akan harus kaya terlebih dahulu. Pendidikan seakan-akan domain orang berduit. Kita juga harus menerima sebuah kenyataan tatkala ada dana beasiswa yang diberikan PEMDA, PEMPROP atau pemerintah pusat harus terlebih dahulu menjadi target keroyokan para anggota dewan yang terhormat dan beberapa oknum lainnya. Tampak sekali asas keperpihakan terhadap rakyat kurang mampu tidak ada dalam benak mereka. Sudah saatnya Indonesia mempunyai budaya menghargai pendidikan dengan menciptakan pendidikan ramah rakyat kecil, dan budaya peka sosial agar bangsa Indonesia lebih mampu berkompetisi dalam tingkat International.  Semoga.

Posting Yang Berkaitan Berdasarkan Kategori :




0 komentar